Pembangunan Pesisir Ibukota Negara yang Terintegrasi bukan sekedar Reklamasi 12 October 2017 – Posted in: Berita – Tags: Berita, Betti Alisjahbana, Jakarta, Josef H Wenas, Reklamasi
Oleh : Betti Alisjahbana
Pada Awal April ketika M. Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta ditangkap KPK karena kasus suap terkait Raperda Reklamasi, spekulasi beredar tentang kemungkinan keterlibatan Ahok. Topik ini kemudian dibahas di group WA GAK (Gerakan Anti Korupsi) ITB. Dalam rangka itu maka saya meneruskan artikel yang ditulis oleh Josef H Wenas yang menjelaskan soal 15 % kontribusi tambahan yang diminta Ahok dari para pengembang reklamasi. Kepada Ahok saya memang selalu berangkat dari praduga tak bersalah kalau itu menyangkut masalah korupsi. Ahok adalah penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) tahun 2013. Pada saat itu saya adalah ketua dewan jurinya, sehingga saya berkesempatan untuk meneliti cukup dalam tentang sepak terjang Ahok. Saya berkesimpulan bahwa Ahok anti korupsi.
Rupanya artikel yang saya teruskan ke WA GAK ITB itu tersebar luas, entah siapa yang menyebarkannya, dan tertulis nama saya sebagai originatornya. Nama penulis aslinya malah hilang dari artikel itu. Untuk itu saya ingin minta maaf pada penulis aslinya yaitu Sdr. Josef H Wenas. Untuk mengoreksi sekaligus menyampaikan pendapat saya soal reklamasi, maka saya menulis artikel ini.
Selama berabad-abad Jakarta mengalami banjir yang serius. Berdasarkan ekstrapolasi tren permasalahan banjir, seperti penurunan tanah, meningkatnya permukaan air laut, perubahan iklim dan pertumbuhan perkotaan yang cepat diperkirakan masalah banjir ini semakin mengkhawatirkan selama dekade mendatang untuk wilayah bagian utara Jakarta yang sekarang menampung lebih dari 4 juta orang. Dari data yang saya peroleh, laju penurunan permukaan tanah di Jakarta ini antara 7,5 cm-12 cm per tahun, sehingga bila dibiarkan, 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa dialirkan airnya ke teluk Jakarta. Oleh karena itu segera dibutuhkan solusi yang efektif, layak dan berkelanjutan.
Dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian PUPR, saya mendapatkan dokumen hasil studi JCDS (Jakarta Coastal Development Study). Studi ini dilakukan oleh Tim kerjasama Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Deltares, WittBo dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh PusAir dan ITB. Studi ini selesai pada akhir tahun 2011 dan laporan disampaikan kepada Menteri PU dan Gubernur DKI Jakarta (Waktu itu Gubernur nya masih Foke). Laporan dibagi menjadi 3 buku (Triple A) :
- Atlas berisi tentang kondisi yang dihadapi Jakarta
- Agenda berisi tentang usulan alternatif solusi yang terintegrasi
- Aturan Main yang berisi tentang apa yang harus dispersiapkan agar rencana ini bisa diterapkan.
Laporan itu berisi usulan untuk memecahkan problema Jakarta mulai dari banjir, land subsidence, kualitas air, kebutuhan air baku hingga kemacetan, kebutuhan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. Usulan solusi yang terintegrasi di bagi dalam 3 tahap yaitu :
Tahap I
Tahap I adalah erlindungan terhadap banjir dalam jangka pendek, yaitu sampai dengan tahun 2020. Perlindungan ini mencakup banjir dari laut, sungai, dan sistem pengairan. Termasuk didalam tahap ini juga adalah pembangunan jalan, suplai air bersih, saluran pembuangan dan sanitasi. Biaya untuk tahap I ini diperkirakan sebesar USD 427 Juta.
Tahap II
Tahap II adalah perlindungan terhadap banjir dalam jangka menengah, yaitu sampai dengan tahun 2030, dan
Tahap III
Tahap III adalah perlindungan dalam jangka panjang, yaitu sampai sesudah tahun 2030.
Total biaya yang dibutuhkan untuk tahap II dan III masing-masing adalah USD 2,4 milyar dan USD 5,3 Milyar.
Sumber pembiayaan yang tidak sedikit ini direncanakan akan dimobilisasi dari APBN, APBD, Hibah & pinjaman luar negeri dan investor swasta (melalui Public Private Partnership). Hasil studi JCDS ini semula diharapkan dijadikan acuan program remidiasi dan untuk itu perlu dibuat Peraturan Gubernur DKI Jakarta dan Peraturan Menteri PU. Sayangnya ini tidak dilakukan. Gubernur DKI malah mengeluarkan ijin prinsip reklamasi 17 pulau satu bulan sebelum pak Jokowi dilantik jadi gubernur DKI (pada 16 Oktober 2012). Pergub ini menyebabkan reklamasi 17 pulau tidak masuk dalam program JCDS, sehingga reklamasi menjadi murni bisnis.
Melihat kenyataan ini, dan agar penyelamatan banjir dan lingkungan yang terintegrasi tetap dijalankan, maka dibuatlah NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), yang merupakan kemasan baru dari JCDS tetapi dengan mempertimbangkan ijin reklamasi 17 pulau yang telah dikeluarkan tersebut. Program ini menjadi lebih mahal dan mungkin tidak layak karena tanggul harus dibangun di laut dengan kedalaman -17 m dan ada ancaman over supply lahan di DKI. Padahal pada program JCDS tanggul dibangun di kedalaman laut – 8 m, sehingga lebih murah. Untuk memperbaiki kondisi ini Ahok berusaha meluruskan kembali melalui Perda tentang reklamasi dimana ada kewajiban kontribusi tambahan sebesar 15 % yang harus diberikan oleh para developer, agar penanganan lingkungan yang terintegrasi, mencakup pengendalian banjir, air bersih, air limbah, sampah, transportasi dapat dilakukan. Kontribusi tambahan inilah yang kemudian ditentang oleh para developer hingga terjadi kasus suap yang tertangkap tangan oleh KPK terhadap M. Sanusi (Anggota DPRD DKI Jakarta) disusul penetapan tersangka terhadap Presiden Direktur Agung Podomoro Land selaku holding group PT Muara Wisesa pemegang Izin Reklamasi pulau G.
Selain masalah diatas adapula berbagai peraturan yang tumpang tindih soal reklamasi ini. Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi mengapa dalam Rapat Kabinet Terbatas, Presiden RI memutuskan agar reklamasi harus masuk dan terintegrasi dalam program NCICD yang diatur penuh oleh Pemerintah. Untuk melaksanakan integrasi ini, Kemenko Kemaritiman mendapat tugas untuk mengevaluasi masalah perijinan reklamasi serta masalah lingkungan. Sedangkan Bappenas mendapat tugas untuk melakukan kaji ulang Master Plan NCICD. Semoga pemerintah pusat dan Gubernur DKI berhasil merencanakan dan melaksanakan Pembangunan Pesisir Ibukota Negara yang Terintegrasi, serta Efektif dan Berkeadilan, bukan sekedar reklamasi.